Sabtu, 28 Agustus 2010

KALSIUM, FOSFOR DAN GANGGUAN METABOLISME TULANG

PATOLOGI KLINIK VETERINER

KALSIUM
• 99% kalsium berada di tulang dan gigi , (dengan fosfat membentuk kristal hidroksi-apatit yang melengkapi komponen anorganik dan struktur tulang rangka), sedangkan sisanya 1% bersirkulasi dalam darah dan sangat penting kehidupan dan kesehatan.
• Tulang berfungsi sebagai reservoir kalsium yang besar.

• Ion kalsium mengatur sejumlah proses fisiologis dan biokimia penting, termasuk:
– Eksitabilitas neuromuskuler,
– Pembekuan darah,
– Proses sekresi,
– Integritas membran dan transpor membran plasma,
– Reaksi enzim,
– Pelepasan hormon dan neurotransmiter,
– Dan aksi intra sel sejumlah hormon,
– Bersama dengan fosfat berfungsi dalam proses mineralisasi tulang.

HOMEOSTASIS KALSIUM
• Mekanisme homeostasis kalsium adalah proses untuk menarik kalsium dari sumber makanan dan untuk mengusahakan perubahan yang jelas dari konsentrasi kalsium dalam cairan ekstra sel.
• Mekanisme homeostasis kalsium memerlukan aksi 3 hormon, yaitu:
– Hormon parathyroid (PTH)
– Kalsitriol (1,5 (OH)2-D3)
– Kalsitonin (CT).

• Mekanisme homeostasis kalsium beraksi pada 3 organ :
– Tulang
– Ginjal
– Usus

Proses Homeostasis Kalsium
• Jika kadar ion kalsium dalam plasma turun dibawah batas terendah (1,1 mmol/L), kelenjar parathyroid meningkatkan sekresi PTH. PTH selanjutnya merangsang pergerakan kalsium dan fosfat dari tulang ke darah dan beraksi pada ginjal meningkatkan resorpsi kalsium dan ekskresi fosfat.
• Aksi kedua PTH yang penting pada ginjal selanjutnya adalah: merangsang pembentukan 1,25 (OH)-D3.

• Kalsitriol (bentuk aktif dari vitamin D) bekerja pada usus meningkatkan penyerapan kalsium dan ikut berperan dalam aksi PTH pada tulang dan ginjal. Kerja bersama zat ini menaikkan kadar kalsium dalam cairan ekstra sel, dan mempertahankan atau menurunkan kadar fosfat dalam cairan ekstra sel.
• Peningkatan kalsitonin berfungsi dalam menghambat proses resorpsi (penyerapan) tulang.


OSTEOPOROSIS
• Osteoporosis adalah suatu penyakit yang ditandai dengan menurunnya kepadatan tulang dan kerusakan struktur tulang, sehingga tulang menjadi rapuh dan mudah patah.
• Penyebab osteoporosis :
– Malnutrisi
• Defisiensi protein
• Defisiensi kalsium

-Perubahan hormon
• insufisiensi pituitary
• Hyperadrenocorticism
• Hypothyroidism
• Penurunan metabolisme pada masa tua

• Terjadinya osteoporosis : Tulang merupakan jaringan hidup, dari waktu ke waktu akan terjadi proses perombakan pada tulang. Tulang akan dibongkar atau diserap (resorbsi) dan dibentuk kembali dalam suatu proses dinamis yang disebut Remodelling Tulang. Proses remodelling tulang melibatkan 2 jenis sel tulang, yaitu: osteoclast dan osteoblast.

• Pada masa pertumbuhan terjadi proses remodelling tulang yang mengarah pada pembentukan hingga dicapai kepadatan tulang maksimum (pada manusia usia 30 tahun). Pada hewan belum ada penelitian. Selanjutnya, Remodeling Tulang akan berubah ke arah percepatan perombakan tulang yang menyebabkan kepadatan tulang berkurang sehingga dapat terjai osteoporosis dan tulang mudah patah.

Pemeriksaan laboratorium untuk osteoporosis
• Pemeriksaan laboratorium untuk menilai aktivitas tulang:
– Parameter untuk menilai aktivitas pembentukan tulang
– Parameter untuk menilai aktivitas pembongkaran/penyerapan tulang


Parameter untuk menilai aktivitas pembentukan tulang
• A. N-MID Osteocalcin, yaitu protein yang dihasilkan oleh osteoblast yang berfungsi membantu proses pengisian tulang dengan bahan-bahan mineral (proses mineralisasi). Pemeriksaan osteocalcin merupakan parameter yang baik untuk menentukan gangguan metabolisme tulang dalam hal pembentukan tulang dan turn over tulang.
• B. Isoenzim alkali fosfatase, yaitu enzim yang dihasilkan oleh osteoblast yang berfungsi sebagai katalisator proses mineralisasi tulang.

Parameter untuk menilai aktivitas pembongkaran/penyerapan tulang
• A. Deoxypiridinolin Crosslink: yaitu protein penguat mekanik tulang yang akan dilepaskan ke dalam darah dan dikeluarkan melalui urine jika terjadi proses penyerapan tulang.
• B. CTx (C-Telopeptide): yaitu hasil pemecahan protein kolagen tipe 1 yang spesifok tulang. Senyawa ini bersifat stabil, sehingga dapat menggambarkan proses metabolisme atau pembongkaran tulang secara langsung, sedangkan kolagen merupakan bahan organik terbesar yang mengisi tulang.

OSTEOMALASIA
• Pada hewan yang tua pertumbuhan tulang telah berhenti, hal ini ditandai dengan peningkatan matriks tulang, tetapi akumulasi osteoid pada permukaan trabekulae tidak termineralisasi.
• Tahap-tahap terjadi osteomalasia:
– Deposisi matriks tulang oleh osteoblast
– Maturasi matriks tulang oleh osteoblast
– Mineralisasi matriks tulang,

Penyebab osteomalasia
 Defisiensi vitamin D
 Kesalahan dari metabolisme vitamin D
 Defisiensi mineral, terutama fosfor
 Intoksifikasi dari elemen-elemen tertentu, seperti fluorid

Gejala-gejala klinis dan gambaran radiografis dari osteomalasia
 Tulang mudah patah
 Kyposis, lordosis
 Tulang costae dan procesus tranversus vert., lumbalis meliuk ke dalam  thoraks menyempit/gepeng dengan sternum menonjol.
 Terjadi degenerasi pada kartilago, tendo terpisah dari perlekatannya.
 caput femoralis lepas dari kapsul artikularis  paralisa posterior
 Resorbsi tulang trabekulae, kemudian kanalis haversi dan endosteum,
 bila melanjut, ukuran dan jumlah trabekulae berkurang, korteks tipis,
 pada pemeriksaan darah: hipofosfatemia dan Ca serum normal/turun, serum phosfat turun, serum alkaline phosphatase tinggi,
 Kalsium urine, jika rendah ada defisiensi vitamin D, jika normal, osteomalasia jenis lain.

RAKHITIS
 Gangguan proses mineralisasi dan invasi vaskuler pada kartilago (fisis), pertumbuhan kartilago (kondrosit hipertrofi di bagian fisis) tidak termineralisasi, sementara matriks dideposit terus menerus (spongiosa primer tidak terbentuk).

Ricketsia
• Pada hewan muda disebabkan oleh kegagalan mineralisasi osteoid dan matriks kartilago.
• Penyebab :
– Kekurangan kalsium dan fosfor, baik dari diet dan adanya gangguan absorbsi kalsium dan fosfor dalam saluran pencernaan.
– Defisiensi vit. D, karena kurangnya mendapat sinar matahari dan gangguan absorbsi.

Gejala klinis dan gambaran radiografis dari ricketsia :
• Pada bagian epifisis dari tulang panjang memanjang, sehingga tulang mengecil.
• Tulang menjadi lunak dan kekuatan tulang berkurang
• Sering terlihat adanya fraktur
• Densitas tulang menurun
• Pertumbuhan semua tulang pada saat yang sama tidak kontinue, pada saat ini sering terlihat riketsia dan osteomalasia terjadi bersamaan.

Pemeriksaan Laboratorium :
 Ricketsia karena kekurangan kalsium
– Serum kalsium rendah
– Serum inorganik phosphat normal sampai rendah
– Serum alkalin phosphatase tinggi
 Ricketsia karena kekurangan fosfor
– Serum kalsium normal sampai rendah
– Serum inorganik phosphat rendah
– Serum alkalin phophatase tinggi

Penyakit-penyakit akibat kekurangan kalsium dalam serum :
 pankreatitis akut
 eksklampsia
 Fanconi’s syndrome
 glomerulonephritis
 hypoalbuminemia
 hypothyroidism
 postrenal uremia
 gagal ginjal
 renal secondary hyperparathyroidism
 Rickets
 protein-lossing enteropathy

Penyakit-penyakit akibat kelebihan kalsium dalam serum :
 tumor tulang
 dehidrasi
 hyperproteinemia
 hypoadrenocorticism
 lymposarcoma
 myeloma
 myeloma
 perianal-gland tumor
 primary hyperparathyroidism
 Pseudohyperparathyroidism
 gagal ginjal
 obstruksi sal kencing
 keracunan vit D

Rabu, 25 Agustus 2010

LUKA / VULNUS

LUKA ( VULNUS )

Suatu diskontinuitas jaringan secara abnormal yg terjadi baik didalam maupun pada permukaan tubuh .

Luka dibagi menjadi beberapa jenis:

1.luka kontusi / luka tertutup

Cth : memar

Di bagi ada tingkatan :

Tingkat 1 ; yg mengalami kerusakan hanya pembuluh kapiler.

Tingkat 2 ; yg pecah tidak hanya kapiler tetapi pembuluh darah yg besar.

Tingkat 3 ; yg pecah tidak hanya pembuluh kapiler dan pembuluh darah yg besar tetapi juga mengalami kerusakan jaringan.

2.Luka serut à Vulnus Laceratum

Ditandai dengan hanya kehilangan jaringan pada permukaan luka.

3.luka sayat à vulnus incisivum

Incisi à hanya disayat

Excise à di sayat dan dibuang

Tanda ; pinggir luka rata,tidak banyak jaringan yg rusak dan hilang,tidak compang-camping.

Terpotong oleh gunting : vulnus scissum

4.luka robek à vulnus morsum

Tanda ; pinggir luka tidak rata,banyak jaringan hilang ,lukanya compang-camping.

Cth : luka gigit anjing

5.luka tusuk à vulnus punctum

Tanda ; luka tidak begitu lebar dan besar tetapi lukanya dalam.

6.luka tembak à vulnus palatum / sklopectorum

Tanda ; luka keluar lebih lebar.

7.luka granulasi

Suatu luka yg pada permukaan luka tumbuh epitel baru atau tumbuh jaringan granulasi.

Termasuk granulasi sel : fibroblast,sel macrofag,pembuluh kapiler.

transfer embrio

Transfer embrio (TE) merupakan suatu teknologi pemindahan embrio yang didapat dari hewan betina donor sebelum proses implantasi pada uterus ke hewan betina resipien sebagai induk pengganti. Keuntungan utama dari transfer embrio adalah peningkatan kapasitas reproduksi dari hewan betina yang mempunyai mutu genetis unggul, penanganan beberapa kasus infertilitas, induksi kelahiran kembar, pencegahan penularan penyakit, dan pengawetan plasma nuftah .Langkah-langkah utama dalam aplikasi transfer embrio meliputi seleksi hewan donor, superovulasi dan pengawetan embrio, sinkronisasi dan seleksi resipien, dan transfer embrio pada resipien. Salah satu langkah kunci dalam pelaksanaan transfer embrio adalah superovulasi, yang elemen utamanya adalah pemberian hormon gonadotropin (Dieleman et al., 1993). Superovulasi bertujuan untuk memacu produksi banyak ova, sehingga akan diperoleh sejumlah besar embrio pada satu siklus ovulasi (Mafletoft dan Pierson, 1993).

Sampai saat ini terdapat 2 tipe hormon yang paling sering digunakan untuk tujuan superovulasi yakni pregnant mare serum gonadotrophin (PMSG) dan follicle stimulating hormone (FSH). Kedua hormon ini masing-masing mempunyai kelebihan dan kekurangan. Bila dibandingkan dengan penggunaan PMSG, respon ovarium terhadap hormon FSH biasanya lebih baik karena lebih banyak menghasilkan ovulasi, jumlah folikel anovulasi lebih sedikit, lebih banyak embrio yang dapat diperoleh, dan kualitas embrio lebih baik. Kelemahan dari FSH adalah dapat sukar diperoleh di pasar domestik, harganya relatif mahal, dan pemberiannya harus berulang-ulang sehingga mengakibatkan stress dan menurunkan kualitas embrio (Putro, 1996).

Di Indonesia, ternyata pemakaian hormon PMSG untuk tujuan superovulasi lebih banyak digunakan karena harganya relatif lebih murah serta lebih mudah didapat, meskipun respon yang dihasilkannya tergolong rendah dibanding FSH. Rendahnya respon superovulasi dengan PMSG mungkin berhubungan dengan panjangnya masa sirkulasinya yang menghasilkan perkembangan folikel yang berlebihan, nimphomania (berahi yang terus-menerus), dan kegagalan ovulasi. Folikel yang gagal mengalami ovulasi ini akan meningkatkan sekresi estrogen. Sekresi estrogen yang tinggi mempunyai efek yang merugikan terhadap perkembangan embrio (Gonzalez et al., 1994).

Beberapa penelitian telah dilakukan untuk mengatasi kendala penggunaan masing-masing gonadotropin di atas. Tingginya kadar estrogen akibat pemberian PMSG diatasi dengan pemberian antibodi monoklonal terhadap PMSG (anti-PMSG). Hormon ini akan menurunkan kadar estrogen karena adanya netralisasi terhadap PMSG (Dieleman et al., 1993). Penurunan kadar estrogen ini akan diikuti dengan peningkatan laju ovulasi dan kualitas embrio (Gonzalez et al., 1994). Rendahnya respon superovulasi menggunakan hormon FSH disebabkan akibat pemberian yang berulang-ulang, dapat diatasi dengan melarutkan FSH dalam pelarut PVP (polyvinylpirolidone) secara intramuskulus atau subkutan (Yamamoto et al. cit Putro, 1996). Meskipun telah ditemukan cara untuk mengatasi pemakaian gonadotropin sebagai preparat superovulasi tetapi hasil yang diperoleh masih sangat bervariasi. Di samping itu, akan menimbulkan problem baru berupa tambahan biaya dalam pelaksanaannya.

Pada beberapa tahun terakhir perlakuan perhatian terhadap superovulasi mulai diarahkan pada manipulasi secara imunologi menggunakan imunisasi inhibin. Inhibin adalah suatu glikoprotein yang dihasilkan oleh sel-sel granulosa folikel. Inhibin terdiri dari 2 subunit yakni α dan β yang dihubungkan oleh jembatan disulfida. Fungsi inhibin adalah menekan produksi gonadotropin, khususnya FSH (Findlay et al., 1992). Imunisasi aktif terhadap inhibin yang berasal dari fraksi cairan folikuler, fragmen peptida sintetik dari subunit-α inhibin dan rekombinan DNA yang berasal dari subunit α menghasilkan peningkatan ovulation rate pada domba dan sapi (O’Shea et al., 1994). Imunisasi pasif dengan menyuntikkan antiserum inhibin juga terbukti mampu meningkatkan konsentrasi hormon FSH yang bertanggung jawab untuk meningkatkan jumlah folikel yang tumbuh (Kaneko et al., 1993).

Keuntungan utama dari manipulasi reproduksi melalui imunologi ini adalah optimalisasi fungsi reproduksi hewan betina yang unggul. Hewan donor pada perlakuan superovulasi dengan gonadotropin digunakan kembali setelah istirahat kelamin sampai 3 kali siklus estrus (+ 2 bulan) (Heath, 1984). Superovulasi dengan metode imunisasi inhibin dapat dilakukan atau oosit dapat dikoleksi seminggu sekali (Gibbons et al., 1994). Hal ini mungkin didasarkan atas adanya 2 atau 3 gelombang pertumbuhan folikel pada ruminansia. Pada setiap gelombang folikel tersebut akan terdapat folikel dominan. Folikel dominan tersebut merupakan sumber utama sirkulasi inhibin. Peningkatan konsentrasi inhibin terjadi sebelum ovulasi (hari ke -3 sampai 0 atau hari ke 17-21) awal luteal (hari ke-4 sampai ke-7) pertengahan fase luteal (hari ke-10 sampai ke-13) (Kaneko et al., 1995). Pemberian imunisasi pada saat tersebut menimbulkan konsekuensi netralisasi terhadap efek supresi inhibin terhadap sintesis dan sekresi FSH (Bleach et al., 1996).

Secara umum pada beberapa spesies diketahui efek imunisasi inhibin akan meningkatkan konsentrasi FSH sebagai akibat supresi negatif feedback oleh inhibin. Kaneko et al. (1995) dan Weltz et al. (2001) memperlihatkan hubungan yang terbalik antara konsentrasi plasma FSH dan inhibin pada tiga gelombang pertumbuhan folikel. Hal ini memberikan bukti yang kuat bahwa inhibin terlibat dalam regulasi FSH. Sebaliknya, Bleach et al. (1996) menunjukkan bahwa antibodi inhibin menstimulasi perkembangan folikel ovarium dan meningkatkan jumlah ovulasi melalui aksi langsung pada ovarium.

Selasa, 24 Agustus 2010

blue tongue

Nama lain: Ovine Catarrhal Fever (OCF), Penyakit Lidah Biru, atau di Indonesia dikenal sebagai BT.

Merupakan penyakit menular pada domba ditandai dengan stomatitis kataral, rhinitis, enteritis, pincang karena peradangan sarung kuku, abortus, kerdil dan hyperplasia limforetikuler. Bluetongue kadang-kadang juga menyerang kambing dan sapi dengan gejala tidak kentara, tetapi penyakit ini dapat serius pada beberapa spesies hewan liar khususnya rusa ekor putih (Odocoileus virginianus) di Amerika Utara.
Penyakit ini sangat penting artinya pada domba, dengan tingkat keganasan yang beragam dari subklinis sampai serius tergantung kepada galur virus, bangsa domba, dan ekologi setempat. Kerugian timbul akibat kematian dan buruknya kondisi domba yang bertahan hidup.
Etiologi
Bluetongue disebabkan oleh Orbivirus dari famili Reoviridae. Virus ini memiliki antigenik atau sifat biokimia yang sama dengan penyakit Epizootic Haemorrhagic pada rusa dan Ibaraki pada sapi.
Di dunia terdapat 24 strain virus BT dan beberapa serotipe terjadi reaksi silang. Distribusi serotipe di masing-masing Negara berbeda-beda.


Patogenesis
Virus BT mengadakan perbanyakan dalam sel hemopoietik dan sel endotel pembuluh darah, yang kemudian menyebabkan lesi epithelial BT yang tersifat. Viremia biasanya terjadi pada stadium awal penyakit. Domba dewasa kadang-kadang menderita viremia paling lama 14-28 hari, dan pada sapi virus dapat bertahan selama 10 minggu.


Epidemiologi
Distribusi Geografis
Bluetongue tersebar luas di dunia. Afrika dilaporkan telah ditemukan lebih dari 100 tahun lalu, kemudian terjadi pula di Siprus, Yunani, Israel, Portugal, Spanyol, Turki, Lebanon, Oman, yaman, Syria, Saudi Arabia, Mesir, Pakistan, India, Bangladesh, Jepang, Amerika Serikat, Amerika Latin, Kanada, Australia, New Zealand, Papua New Guinea, Thailand, Malaysia dan Indonesia.
Di Indonesia ditemukan pada beberapa propinsi, diantaranya Sumatera Utara, Jawa Barat, Jawa Tengah, Papua, Bali, NTB, NTT, dan Timor Leste terdeteksi antibodinya.
Hewan Terserang
Bluetongue menyerang domba, kambing, sapi, kerbau, dan ruminansia lain seperti rusa. Domba merupakan hewan paling peka terutama yang berumur 1 tahun, sedangkan anak domba yang masih menyusui relative tahan karena telah memperoleh kekebalan pasif dari induk (antibodi maternal) dan antibodi ini biasanya bertahan sampai 2 bulan.
Ras domba Inggris dan Merino lebih peka dibandingkan dengan domba Afrika.
Cara Penularan
Penyakit terutama ditularkan melalui vektor Culicoides sp. Berbagai spesies telah dilaporkan yaitu Culicoides pallidipennis, C. variipennis, C. brevitarsis, C. marksi, C. immicola, C. insignis, C. wadai, C. actoni, C. orientalis, C. shortii, dan C. peregrines.
Kebanyakan kasus BT terjadi pada akhir musim panas dan awal musim gugur saat populasi vektor tinggi. Tidak terjadi penularan secara kontak dan kejadian penyakit adalah musiman. Kejadian penyakit di suatu daerah terjadi karena ada domba, kambing atau sapi terinfeksi masuk bersama-sama dengan vektor.
Penularan penyakit melalui pasenta dapat terjadi, tetapi virus ini tidak ditularkan melalui kontak atau melalui produk hewan terinfeksi.
Distribusi vektor Bluetongue di dunia
Negara
Serotipe
Australia C. brevitarsis, C. Wadai, C. actoni, C. fulvus
Spanyol C. imicola
Turki C. imicola
Afrika Selatan C. imicola
Amerika Serikat C. variipennis, C. insignis
Papua New Guinea C. brevitarsis, C. wadai, C. actoni, C. fulvus,
C. brevipalpis, C. perregrinus, C. orientalis, C. nudipalpis dan C. acystoma
Kepulauan Solomon C. brevitarsis
Indonesia C. brevitarsis, C. wadai, C. actoni, C. fulvus, C. acystoma, C. brevipalpis, C. perregrinus, C. orientalis, C. nudipalpis dan C. flavipunctatus
Inggris C. imicola
Malaysia C. perregrinus, C. orientalis dan C. shortti

Morbiditas dan Mortalitas
Tingkat morbiditas dan mortalitas bervariasi tergantung dari populasi vector dan status hewan. Jika penyakit terjadi pertama kali di suatu daerah maka tingkat morbiditas bias mencapai 50-75% dan mortalitas 20-50%, selanjutnya setelah terjadi kekebalan kelompok dan populasi vektor rendah maka tingkat morbiditas dan mortalitas menjadi rendah pula.
Gejala Klinis
Pada infeksi percobaan, masa inkubasi penyakit 2-4 hari, ditandai dengan demam tinggi (40,5-41°C) yang berlangsung 5-6 hari.
Pada domba, penyakit ini dicirikan oleh demam yang dapat berlangsung beberapa hari sebelum hiperemia, pengeluaran air liur berlebihan (hipersalivasi), dan buih pada mulut menjadi kentara; cairan hidung pada awalnya encer kemudian menjadi kental dan bercampur darah. Bibir , lidah, gusi dan bantalan gigi bengkak dan oedema. Jika selaput lender mulut terkikis lama-kelamaan akan berubah menjadi bentuk luka dan air liur terangsang keluar dan mulut berbau busuk.
Luka-luka tersebut juga dapat ditemukan di bagian samping lidah. Hewan sulit menelan ludah dan gerak pernafasannya meningkat, sering pula diikuti dengan diare dan disentri. Luka juga dapat ditemukan pada teracak mengakibatkan kaki pincang dan, sering rebah-rebah, malas berjalan dan menyebabkan rasa sakit yang hebat. Kepala sering dibengkokkan ke samping mirip penyakit milk fever. Bulu-bulu wool rontok dan kotor.
Penyakit yang menyerang rusa serupa, sebaliknya pada sapi tidak kentara dan jarang bersifat akut. Pada pedet dan anak domba yang terinfeksi in utero, viremia dapat terjadi pada saat lahir dan berlangsung sampai beberapa hari.
Pada kambing, gejala yang terlihat berupa demam, konjungtivitis, lekopenia dan kemerahan pada selaput lender mulut.
Diagnosa
Bluetongue dapat didiagnosa berdasarkan epidemiologis, gejala klinis, patologis, isolasi dan identifikasi virus. Kambing yang memperlihatkan lekopenia, limfopenia dan anemia adalah konsisten seperti pada domba. Antigen virus BT dalam C. variipennis dapat dideteksi dengan FAT, sedangkan antibodi grup spesifik dapat dideteksi pada minggu pertama atau kedua pascainfeksi dengan beberapa uji serologis seperti agar gel precipitation (AGP), enzyme linked immunosorbent assay (ELISA) immunoprecipitating dan immunoblotting. Antibodi virus spesifik dapat dideteksi dalam waktu 9 hari pascainfeksi dengan competitive ELISA (C-ELISA). Semua protein virus struktur dan non struktur dapat dideteksi dengan immunoblotting atau dot blot immunobinding assay (DIA) dan immunoprecipitation serta fragmen DNA dapat dideteksi dengan polymerase chain reaction (PCR).
Virus BT sering sulit diisolasi di laboratorium. Peluang untuk mengisolasi virus meningkat bila darah diambil dari hewan yang menunjukkan tanda-tanda klinis awal atau demam yang hebat, dan isolasi virus kemungkinan besar berhasil bila lapis sel darah putih diinokulasikan secara intravena ke dalam embrio ayam umur 10 atau 11 hari.
Diagnosa Banding
Penyakit ini memiliki gejala klinis yang sangat mirip dengan penyakit Epizootic Haemorrhagic pada rusa, tetapi dapat dibedakan secara serologis dan sifat pertumbuhan virus pada telur ayam berembrio disamping itu tingkat kematian pada epizootic haemorrhagic tinggi dan menyerang segala umur.
BT juga mirip dengan beberapa penyakit, Orf atau Contagious Ecthyma, Ulcerative Dermatosis dan Sheep Pox. Sheep pox umumnya ditandai dengan tingkat kematian yang tinggi dengan lesi pox yang tersifat.
Pencegahan dan Pemberantasan
Virus BT sekarang diketahui dapat menginfeksi ruminansia di tiap benua yang ada ternaknya. Geografi dan iklim mendorong terjadinya epidemik lidah biru di daerah tertentu tergantung kepada masuknya vektor serangga ke daerah yang ternaknya rentan.
Hewan yang sakit dipisah dan tidak memasukkan hewan tertular ke daerah yang bebas. Melakukan penyemprotan dengan insektisida pada kandang atau lokasi disekitarnya untuk mengurangi populasi nyamuk dan vektor mekanis lainnya.
Pengendalian melalui vaksinasi sangat perlu di daerah endemik virus BT yang virulen. Vaksin BT telah dikembangkan yaitu vaksin hidup dan vaksin mati. Vaksin hidup yang dilemahkan seringkali menimbulkan kasus pascavaksinasi, sedangkan vaksin mati lebih aman, akan tetapi daya rangsangan pembentukan antibodi sangat lemah dan pemberian dosis yang besar.
Penelitian selanjutnya dikembangkan vaksin rekayasa genetik yaitu digunakan vaksin yang berasal dari protein P2 virus BT dan disuntikkan 3X100mcg P2 yang dapat memproteksi 100% dan titer antibodi yang tinggi setelah 40-42 hari.

CONTAGIOUS ECTHYMA

Contagious ecthyma (contagious pustular dermatitis or orf) is a highly infectious disease of goats and sheep characterised by pustular and scabby lesions on the muzzle, commissures of the lips and nostrils. The disease is caused by a contagious ecthyma virus of the genus Parapoxvirus and family Poxviridae and, it also affects man.

Epidemiology

Contagious ecthyma is endemic in most African countries. The sero-prevalence of the disease in goats has been reported to be 3.0-19.0 % in the humid zone of Nigeria, 1.6 % in Mali, 14.0 % in Kenya and 14.0% in Tanzania. The disease has also been encountered in small ruminants in Sudan, Ethiopia, Uganda and Malawi.

All breeds of goats and sheep are affected with contagious ecthyma but the disease is chiefly confined to kids and lambs of 3-6 months old. The source of infection is the affected animal or contaminated inanimate objects and, transmission occurs by contact. The contagious ecthyma virus cannot penetrate the intact skin, hence abrasions of the skin caused by spiky plants, hypodermic needles and surgical operations facilitate the penetration of the virus. The contagious ecthyma virus is highly resistant to desiccation and can survive in dry scabs for years.

Pathogenesis

Initial multiplication of the virus occurs at the site of primary infection. Viraemia develops and is followed by subsequent localisation of the virus in the epithelial cells of the Malphigian layer of epidermis of the target organs especially the head, extremities and udder. Cells of the genital tract, lungs and liver can also be infected. The cytopathic effects of the virus in the infected cells include the development of papules, vesicles, pustules and scabs.

Clinical features

Contagious ecthyma is characterised initially by appearance of erythema which later develop into papules and pustules. When the pustules rupture, the pus forms a thick layer of grey crust and later on result in discrete and thick scabs which are crumbly but adherent to the underlying tissues. Lesions usually begin at the oral commissures and then spread to the lips, muzzle, nostrils, ears and sometimes to the buccal and nasal mucosae. Lesions may also occur on the coronet, interdigital cleft, skin of the udder and teats, vulva, preputial orifice, perineal area, thighs and axillae. Adjoining scabs coalesce and form continuous plaques. Fissures which occur between scabs cause soreness. The lesions may become malignant. Invasion of the virus into respiratory and alimentary tracts may occur leading to pneumonia and gastroenteritis. Morbidity may reach 70-90 % but mortality is rare although it may be considerable if secondary bacterial infection occurs. Spontaneous recovery occurs in 2-3 weeks. Lesions along the alimentary tract interfere with feeding and result in considerable weight loss and emaciation.

Pathological features

At gross pathology, contagious ecthyma is characterised scabby lesions on the affected areas and in malignant cases there are ulcerative lesions in the nasal cavity, trachea, oesophagus, abomasum and small intestine. Inflammation and oedema of the affected dermis is evident in histopathological sections. Parakeratosis, acanthosis, and ballooning degeneration occur in keratinocytes. Nuclear pyknosis and oesinophilic intracytoplasmic inclusion bodies in the affected cells are common features. The virus can be demonstrated in ultra-thin sections of the affected tissue by examination under electron microscope.

Diagnosis

Clinical signs and lesions of contagious ecthyma are quite characteristic. Confirmation of the disease can be achieved by electron microscopy, tissue culture and transmission experiments. Complement fixation, virus neutralisation and gel diffusion tests are the common serological methods used in the diagnosis of the disease.

Contagious ecthyma has to be differentiated from dermatophilosis, bluetongue, goat/sheep pox and ulcerative dermatosis. Lesions caused by dermatophilosis are small, light and yellowish in colour and can be easily removed unlike the thick greyish black tenacious scabs of contagious ecthyma and, distortion of the lips and muzzle is not observed in dermatophilosis. Dermatophilosis can be confirmed by demonstration of Gram-positive mycelial-like D. congolensis in impression smears made from the under surface of the lesions. Bluetongue is commonly associated with the presence of vector midges (Culicoides spp) and is characterised by a systemic reaction; excoriation, ulceration and necrosis of the lips and buccal mucosa; lesions in the coronet and high mortality which are not features of contagious ecthyma. The presence of distinctive pox lesions, a febrile reaction and high mortality are features that can be used to distinguish goat/sheeppox from contagious ecthyma. Ulcerative dermatosis is manifested by pyo-ulcerative lesions with thin, brown and bloody scabs. However, isolation and characterisation of the causative viruses is important in order to confirm the above diseases.

Control

Antiseptic ointments such as Lugol's iodine are used to protect secondary bacterial infection on lesions. Parenteral antibiotics are useful in the treatment of systemic secondary bacterial infections. Good nursing such as provision of soft diet to severely affected cases may enhance recovery. Local autogenous live-virus vaccines prepared from vesiculo-pustular material are effective. Attenuated virus vaccines are commercially available. In endemic areas, annual vaccination of 6-8 week kids or lambs is recommended.