Transfer embrio (TE) merupakan suatu teknologi pemindahan embrio yang didapat dari hewan betina donor sebelum proses implantasi pada uterus ke hewan betina resipien sebagai induk pengganti. Keuntungan utama dari transfer embrio adalah peningkatan kapasitas reproduksi dari hewan betina yang mempunyai mutu genetis unggul, penanganan beberapa kasus infertilitas, induksi kelahiran kembar, pencegahan penularan penyakit, dan pengawetan plasma nuftah .Langkah-langkah utama dalam aplikasi transfer embrio meliputi seleksi hewan donor, superovulasi dan pengawetan embrio, sinkronisasi dan seleksi resipien, dan transfer embrio pada resipien. Salah satu langkah kunci dalam pelaksanaan transfer embrio adalah superovulasi, yang elemen utamanya adalah pemberian hormon gonadotropin (Dieleman et al., 1993). Superovulasi bertujuan untuk memacu produksi banyak ova, sehingga akan diperoleh sejumlah besar embrio pada satu siklus ovulasi (Mafletoft dan Pierson, 1993).
Sampai saat ini terdapat 2 tipe hormon yang paling sering digunakan untuk tujuan superovulasi yakni pregnant mare serum gonadotrophin (PMSG) dan follicle stimulating hormone (FSH). Kedua hormon ini masing-masing mempunyai kelebihan dan kekurangan. Bila dibandingkan dengan penggunaan PMSG, respon ovarium terhadap hormon FSH biasanya lebih baik karena lebih banyak menghasilkan ovulasi, jumlah folikel anovulasi lebih sedikit, lebih banyak embrio yang dapat diperoleh, dan kualitas embrio lebih baik. Kelemahan dari FSH adalah dapat sukar diperoleh di pasar domestik, harganya relatif mahal, dan pemberiannya harus berulang-ulang sehingga mengakibatkan stress dan menurunkan kualitas embrio (Putro, 1996).
Di Indonesia, ternyata pemakaian hormon PMSG untuk tujuan superovulasi lebih banyak digunakan karena harganya relatif lebih murah serta lebih mudah didapat, meskipun respon yang dihasilkannya tergolong rendah dibanding FSH. Rendahnya respon superovulasi dengan PMSG mungkin berhubungan dengan panjangnya masa sirkulasinya yang menghasilkan perkembangan folikel yang berlebihan, nimphomania (berahi yang terus-menerus), dan kegagalan ovulasi. Folikel yang gagal mengalami ovulasi ini akan meningkatkan sekresi estrogen. Sekresi estrogen yang tinggi mempunyai efek yang merugikan terhadap perkembangan embrio (Gonzalez et al., 1994).
Beberapa penelitian telah dilakukan untuk mengatasi kendala penggunaan masing-masing gonadotropin di atas. Tingginya kadar estrogen akibat pemberian PMSG diatasi dengan pemberian antibodi monoklonal terhadap PMSG (anti-PMSG). Hormon ini akan menurunkan kadar estrogen karena adanya netralisasi terhadap PMSG (Dieleman et al., 1993). Penurunan kadar estrogen ini akan diikuti dengan peningkatan laju ovulasi dan kualitas embrio (Gonzalez et al., 1994). Rendahnya respon superovulasi menggunakan hormon FSH disebabkan akibat pemberian yang berulang-ulang, dapat diatasi dengan melarutkan FSH dalam pelarut PVP (polyvinylpirolidone) secara intramuskulus atau subkutan (Yamamoto et al. cit Putro, 1996). Meskipun telah ditemukan cara untuk mengatasi pemakaian gonadotropin sebagai preparat superovulasi tetapi hasil yang diperoleh masih sangat bervariasi. Di samping itu, akan menimbulkan problem baru berupa tambahan biaya dalam pelaksanaannya.
Pada beberapa tahun terakhir perlakuan perhatian terhadap superovulasi mulai diarahkan pada manipulasi secara imunologi menggunakan imunisasi inhibin. Inhibin adalah suatu glikoprotein yang dihasilkan oleh sel-sel granulosa folikel. Inhibin terdiri dari 2 subunit yakni α dan β yang dihubungkan oleh jembatan disulfida. Fungsi inhibin adalah menekan produksi gonadotropin, khususnya FSH (Findlay et al., 1992). Imunisasi aktif terhadap inhibin yang berasal dari fraksi cairan folikuler, fragmen peptida sintetik dari subunit-α inhibin dan rekombinan DNA yang berasal dari subunit α menghasilkan peningkatan ovulation rate pada domba dan sapi (O’Shea et al., 1994). Imunisasi pasif dengan menyuntikkan antiserum inhibin juga terbukti mampu meningkatkan konsentrasi hormon FSH yang bertanggung jawab untuk meningkatkan jumlah folikel yang tumbuh (Kaneko et al., 1993).
Keuntungan utama dari manipulasi reproduksi melalui imunologi ini adalah optimalisasi fungsi reproduksi hewan betina yang unggul. Hewan donor pada perlakuan superovulasi dengan gonadotropin digunakan kembali setelah istirahat kelamin sampai 3 kali siklus estrus (+ 2 bulan) (Heath, 1984). Superovulasi dengan metode imunisasi inhibin dapat dilakukan atau oosit dapat dikoleksi seminggu sekali (Gibbons et al., 1994). Hal ini mungkin didasarkan atas adanya 2 atau 3 gelombang pertumbuhan folikel pada ruminansia. Pada setiap gelombang folikel tersebut akan terdapat folikel dominan. Folikel dominan tersebut merupakan sumber utama sirkulasi inhibin. Peningkatan konsentrasi inhibin terjadi sebelum ovulasi (hari ke -3 sampai 0 atau hari ke 17-21) awal luteal (hari ke-4 sampai ke-7) pertengahan fase luteal (hari ke-10 sampai ke-13) (Kaneko et al., 1995). Pemberian imunisasi pada saat tersebut menimbulkan konsekuensi netralisasi terhadap efek supresi inhibin terhadap sintesis dan sekresi FSH (Bleach et al., 1996).
Secara umum pada beberapa spesies diketahui efek imunisasi inhibin akan meningkatkan konsentrasi FSH sebagai akibat supresi negatif feedback oleh inhibin. Kaneko et al. (1995) dan Weltz et al. (2001) memperlihatkan hubungan yang terbalik antara konsentrasi plasma FSH dan inhibin pada tiga gelombang pertumbuhan folikel. Hal ini memberikan bukti yang kuat bahwa inhibin terlibat dalam regulasi FSH. Sebaliknya, Bleach et al. (1996) menunjukkan bahwa antibodi inhibin menstimulasi perkembangan folikel ovarium dan meningkatkan jumlah ovulasi melalui aksi langsung pada ovarium.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar